Pengantar:
Tahukah anda dengan musik Panting atau seni tradisional Banjar lainnya? Bila tidak, rasanya adalah hal yang wajar. Karena kini, music tradisional sudah sangat jarang diperdengarkan dan digelar, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Menyedihkan memang. Karena ternyata, di HST terdapat sebuah kampung seni tempat lahirnya seni tradisional dan pekerjanya. Namun semua itu kini serasa tak lagi berarti, seiring tenggelamnya seni tradisional dari permukaan. Melalui tulisan ini, setidaknya aku dapat mengemukakan kegelisahan tentang terpuruknya seni tradisional, bahkan ditanahnya sendiri. Ah, panggung mungkin memang bukan untuk seni tradisional.
….. dengan Bismillah kami ucapkan, ala sayang
Panting dikatik baadung tangan
Lagu dialun nang dibawakan, ala sayang
Kisahnya nasib marista badan …..
Alunan nada lagu berjudul Kilir-Kiliran itu mengalun. Perlahan, sendu diiringi dentingan dawai Panting yang dipetik. Membelah malam Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Merupakan hal biasa bagi warga desa itu, ketika malam-malam mendengar alunan musik tradisional. Dari yang mendayu-dayu seperti alunan musik Panting, hingga yang rancak seperti musik penggiring Wayang Gung (Wayang Orang; sebagian orang menyebutnya Wayang Gong-red) atau Kuda Gipang (juga dikenal dengan istilah Kuda Gepang-red). Alunan musik tradisional dimalam hari, bak tembang pengantar tidur bagi mereka. Begitulah, hal biasa oleh warga Desa Barikin yang mungkin tak biasa bagi sebagian orang.
Bagaimana tidak. Musik dan seni tradisional seperti mendarah daging bagi urang Barikin. Sejak Sultan berkuasa di tanah Banjar ini, seni begitu lekat dikehidupan mereka. Hingga kini, masih banyak dari mereka yang menggantungkan hidup dari berkesenian. Mulai menjadi Pamandaan, Pajapinan, Pawayangan, pembuat atau pengrajin alat musik tradisional, hingga mereka yang sekedar maangkat anggung (tukang bawa-red) peralatan musik itu.
Barikin, desa yang berjarak kurang lebih 20 Km dari Kota Barabai ke arah Banjarmasin itu, sedari dulu memang dikenal sebagai kampung seni. Tempat lahirnya seniman-seniman berbakat dibidang seni tradisional. Dari kampung itu pulalah lahir kesenian tradisional baru nang bangaran (yang dinamakan) musik Panting. Dari urang Barikinlah, tercipta rangkaian-rangkaian indah nada lagu musik Panting.
Era tahun 70-an ke bawah, seni tradisional berada dipuncak keemasannya. Ketika itu, musik dan seni belum memasuki rumah penduduk. Desa Barikin menjadi terkenal ke seantero negeri, bukan hanya Kalimantan Selatan, tapi hingga ke provinsi tetangga.
Nama Barikin sendiri terilhami polah warganya yang bila akan berangkat ke kampung atau daerah lain untuk memenuhi undangan pentas, senantiasa barikin (berhitung-red) terlebih dahulu. Banyak hal yang harus mereka rikin (hitung-red) dan pertimbangkan. Seperti hari baik untuk berangkat, untung rugi, musibah, dan lain-lain (disebut pula dengan istilah Babilangan-red). Hal itu dilakukan, karena dahulu transportasi tidak semudah sekarang. Hingga akhirnya kampung yang dulunya bernama Pinang Anggang, lalu berubah menjadi Campaka Baris itu, lebih dikenal dengan sebutan Barikin. Dan itu melekat hingga sekarang.
Kesenian tradisional di Barikin tempoe doeloe, ada dan berkembang seiring dengan datangnya budaya Gamelan atau Karawitan dari kerajaan Banjar. Menurut seorang tokoh seni Desa Barikin, Abdul Wahab Syarbaini, peristiwa itu seiring dengan pembangunan Candi Agung di Nagara Dipa atau Amuntai sekarang.
“Kala itu kesenian yang berkembang seperti wayang kulit, Wayang Gung, Kuda Gipang, tari tradisional, Japin, Mamanda dan seni yang mengandalkan gerak. Musik dan lagu tradisional, baru dikenal tahun 1976,” ujar pemilik Sanggar Seni Ading Bastari ini.
Musik dan lagu tradisional yang dimaksud Sarbai, begitu Syarbaini biasa disapa, adalah musik Panting. Dimana pada musik Panting, lebih mengandalkan suara musik dan lagu, bukan gerak seperti Wayang Gung atau Japin, misalnya.
Wayang Gung, adalah sebutan untuk seni Wayang Orang. Namun meskipun sama-sama dilakonkan oleh manusia, Wayang Gung berbeda dengan Wayang Orang. Perbedaan itu terletak pada pakem yang dibawakan. Bila Wayang Orang yang dimainkan adalah pakem Mahabratha dengan Pandawa Limanya, maka Wayang Gung biasa dibawakan dengan pakem Ramayana. Alur ceritanya, mengambil setting permusuhan antara kerajaan Pancawati pimpinan Prabu Rama dengan kerajaan Alengka yang dipimpin oleh Rahwana, Sang Raja Angkara Murka.
Begitu juga dengan Wayang Kulit, ternyata versi Banjar tidak sama dengan Wayang Kulit versi Jawa atau Bali. Meskipun pakem yang dibawakan cenderung sama, tetapi pada Wayang Kulit Banjar memiliki keistemewaan tersendiri. Penokohan dan alur cerita lebih fleksibel dan kreatif. Sang empunya hajat yang menggelar pertunjukan wayang, bisa memesan dan membuat sendiri alur cerita. Dengan catatan, tidak keluar dari pakem yang ada. Cerita dengan alur seperti itu disebut Carangan.
Begitu pula dengan penokohan. Pada Wayang Kulit Banjar dikenal tokoh Kaki atau Rikmabrangka. Tokoh itu dimunculkan dan diambil dari tokoh atau tacut (jagoan-red) daerah tempat pertunjukan wayang digelar. Penggambaran karakter Rikmabrangka bisa berupa tacut yang jagoan, pemabuk, pembuat onar, penjudi, dan segudang sifat jahat lainnya. Namun adakalanya, Rikmabrangka diambil dari karakter seorang tokoh ulama, guru atau tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh, arif dan bijaksana.
“Dengan begitu, warga yang menonton akan senang. Karena ditengah pertunjukan muncul seorang tokoh dari desa mereka. Terlebih sang tokoh, sangat bangga ditampilkan dalam bentuk wayang,” ujar Lufi, anak sulung Sarbai yang kini mewarisi bakat ayahnya.
Seni Kuda Gipang, kurang lebih dengan kesenian Jaranan di Jawa. Namun pada Kuda Gipang, alur cerita lebih fleksibel dan sering ada penokohan yang meramaikan dengan tingkah dan dialognya yang lucu. Kuda Gipang didukung sejumlah peralatan selain kostum, seperti Gamelan, Kida-Kida, Sabuk, Jamang, Cabang, Katupung, Babun, Panting Pambawa, Panting Panggiring, Panggulung, Biola, Tarbang Paningkah, Kaprak, Gong dan Suling.
Kesenian Japin, menurut Sarbai terbagi dua. Yaitu Japin Pesisir dan Japin Pedalaman. Japin Pesisir, lebih dikenal dengan sebutan Musik Gambus yang diiringi tarian. Lagu-lagu yang dibawakan, bernafaskan Islam. Sedang Japin Pedalaman, diakui Sarbai sebagai Japin yang dikenal masyarakat Banjar sekarang. Pada Japin Pedalaman, lagu-lagu yang didendangkan berupa tembang Melayu Banjar.
Tahun 1976, Sarbai dengan Sanggar Ading Bastarinya mencoba memainkan musik Japin tanpa diiringi tarian. Sebagai pelengkap, dinyanyikanlah tembang-tambang Melayu Banjar. Setelah dimainkan dan didengarkan, ternyata sangat menawan. Karena itulah, setahun kemudian pada sebuah resepsi perkawinan di Barikin, Sarbai kembali memainkannya.
Saat itu, hadir beberapa tokoh seniman Kalsel. Antara lain Yustan Azidin, Marsudi BA, H Anang Ardiansyah dan H Bahtiar Sanderta. Semua yang mendengar terkejut sekaligus terpesona. Alunan musik penggiring Japin dipadukan dengan lagu Melayu Banjar, ternyata nyaman ditelinga.
“Karena melodinya dimainkan dengan alat musik Panting, maka menurut Yustan Abidin kala itu, sebaiknya dinamakan Musik Panting,” Sarbai mengenang peristiwa itu.
Ditahun itu pula, musik Panting mulai diperdengarkan ke khalayak. Sebagai penggiringnya, dinyanyikan lagu-lagu Melayu Banjar Pahuluan yang berirama slow. Baru setahun kemudian, Sarbai menciptakan lagu khusus untuk musik Panting. Lagu-lagu itu memiliki ciri khas berupa pantun dan berisi nasehat.
Diawal perkembangannya, musik Panting dimainkan hanya dengan tiga alat musik. Yaitu Panting sebagai melodi, Babun (Gendang) dan Gong. Baru tahun 1979, peralatan itu diperkaya dengan Talinting, Giring-Giring, Kulimpai (ketiganya merupakan alat musik tradisional Dayak Meratus), Suling dan Biola.
Kesenian ini mengalami perkembangan pesat. Tahun 1980, ketika panggung dangdut mulai memasuki hajatan yang digelar, musik Panting beradaptasi dan dilengkapi dengan penggunaan sound system. “Tahun 1981, hampir tiap kabupaten di Kalsel memiliki kesenian Panting. Sejak itu hingga tahun 1985, Panting berada di masa kejayaannya,” mata Sarbai menerawang.
Berkat dukungan Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel, tahun 1985 Panting mulai diajarkan dibeberapa sekolah. Namun sayangnya, kini Panting dan seni tradisional lainnya kurang diminati. Di Barikin sendiri, hanya bisa maju dengan tersendat. Generasi muda Barikin lebih tertantang untuk menaklukkan Play Stations dibandingkan seni tradisional. Seiring dengan itu, lekuk dan goyangan penyanyi dangdut Elekton, lebih disukai sebagai penyemarak hajatan.
“Dalam sebulan paling banyak dua kali tampil. Tidak seperti dulu yang dalam satu bulan terkadang penuh,” ujar Lufi, miris.
Kondisi itu diperparah dengan ketidakpedulian Pemerintah Daerah Kabupaten HST. Diakui Sarbai, hampir tak pernah ada kepedulian dalam bentuk apapun untuk para seniman Barikin. Tidak bantuan kostum panggung, alat musik, uang pembinaan ataupun sekedar sebuah gedung sebagai tempat berlatih. “Tempat latihan kami dirumah masing-masing dan terkadang di Balai Desa,” berkata Sarbai lirih.
Kepala Disporabudpar HST, Zain Jailani mengakui bila seni tradisional saat ini sulit untuk berkembang. “Kami juga menerima masukan dari para budayawan. Dari mereka, muncul keprihatinan dengan nasib seni tradisional kita yang terancam punah,” ujarnya.
Menurutnya, kepunahan itu bisa saja terjadi karena tidak adanya pewaris yang melanjutkan kesenian tradisional. Beberapa penyebab sulitnya seni tradisional berkembang, salah satunya adalah kurangnya minat generasi muda terhadap seni tradisional itu. Selain itu, Disporabudpar terkendala masalah kurangnya pendanaan yang dapat dialokasikan untuk mengayomi para seniman.
Dan, kloplah sudah. Kurangnya minat generasi muda ditambah ketiadaan pendanaan dari pemerintah daerah setempat, semakin menghunjamkan Barikin sebagai kampung seni kejurang paling dalam. Yang terdengar kini di Barikin, lebih banyak deru mesin kendaraan dan mesin pengolahan karet yang berlomba mencetak rupiah. Tak lagi seperti dulu, ketika malam menjelang di Barikin yang diselimuti alunan music tradisional. Ah, kampung seni itu kini mulai sepi…
sumber:
http://myrasta.wordpress.com/2009/10/13/barikin-yang-tak-lagi-bergema/
Tahukah anda dengan musik Panting atau seni tradisional Banjar lainnya? Bila tidak, rasanya adalah hal yang wajar. Karena kini, music tradisional sudah sangat jarang diperdengarkan dan digelar, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Menyedihkan memang. Karena ternyata, di HST terdapat sebuah kampung seni tempat lahirnya seni tradisional dan pekerjanya. Namun semua itu kini serasa tak lagi berarti, seiring tenggelamnya seni tradisional dari permukaan. Melalui tulisan ini, setidaknya aku dapat mengemukakan kegelisahan tentang terpuruknya seni tradisional, bahkan ditanahnya sendiri. Ah, panggung mungkin memang bukan untuk seni tradisional.
***
Kampung Seni Itu Mulai Sepi….. dengan Bismillah kami ucapkan, ala sayang
Panting dikatik baadung tangan
Lagu dialun nang dibawakan, ala sayang
Kisahnya nasib marista badan …..
Alunan nada lagu berjudul Kilir-Kiliran itu mengalun. Perlahan, sendu diiringi dentingan dawai Panting yang dipetik. Membelah malam Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Merupakan hal biasa bagi warga desa itu, ketika malam-malam mendengar alunan musik tradisional. Dari yang mendayu-dayu seperti alunan musik Panting, hingga yang rancak seperti musik penggiring Wayang Gung (Wayang Orang; sebagian orang menyebutnya Wayang Gong-red) atau Kuda Gipang (juga dikenal dengan istilah Kuda Gepang-red). Alunan musik tradisional dimalam hari, bak tembang pengantar tidur bagi mereka. Begitulah, hal biasa oleh warga Desa Barikin yang mungkin tak biasa bagi sebagian orang.
Bagaimana tidak. Musik dan seni tradisional seperti mendarah daging bagi urang Barikin. Sejak Sultan berkuasa di tanah Banjar ini, seni begitu lekat dikehidupan mereka. Hingga kini, masih banyak dari mereka yang menggantungkan hidup dari berkesenian. Mulai menjadi Pamandaan, Pajapinan, Pawayangan, pembuat atau pengrajin alat musik tradisional, hingga mereka yang sekedar maangkat anggung (tukang bawa-red) peralatan musik itu.
Barikin, desa yang berjarak kurang lebih 20 Km dari Kota Barabai ke arah Banjarmasin itu, sedari dulu memang dikenal sebagai kampung seni. Tempat lahirnya seniman-seniman berbakat dibidang seni tradisional. Dari kampung itu pulalah lahir kesenian tradisional baru nang bangaran (yang dinamakan) musik Panting. Dari urang Barikinlah, tercipta rangkaian-rangkaian indah nada lagu musik Panting.
Era tahun 70-an ke bawah, seni tradisional berada dipuncak keemasannya. Ketika itu, musik dan seni belum memasuki rumah penduduk. Desa Barikin menjadi terkenal ke seantero negeri, bukan hanya Kalimantan Selatan, tapi hingga ke provinsi tetangga.
Nama Barikin sendiri terilhami polah warganya yang bila akan berangkat ke kampung atau daerah lain untuk memenuhi undangan pentas, senantiasa barikin (berhitung-red) terlebih dahulu. Banyak hal yang harus mereka rikin (hitung-red) dan pertimbangkan. Seperti hari baik untuk berangkat, untung rugi, musibah, dan lain-lain (disebut pula dengan istilah Babilangan-red). Hal itu dilakukan, karena dahulu transportasi tidak semudah sekarang. Hingga akhirnya kampung yang dulunya bernama Pinang Anggang, lalu berubah menjadi Campaka Baris itu, lebih dikenal dengan sebutan Barikin. Dan itu melekat hingga sekarang.
Kesenian tradisional di Barikin tempoe doeloe, ada dan berkembang seiring dengan datangnya budaya Gamelan atau Karawitan dari kerajaan Banjar. Menurut seorang tokoh seni Desa Barikin, Abdul Wahab Syarbaini, peristiwa itu seiring dengan pembangunan Candi Agung di Nagara Dipa atau Amuntai sekarang.
“Kala itu kesenian yang berkembang seperti wayang kulit, Wayang Gung, Kuda Gipang, tari tradisional, Japin, Mamanda dan seni yang mengandalkan gerak. Musik dan lagu tradisional, baru dikenal tahun 1976,” ujar pemilik Sanggar Seni Ading Bastari ini.
Musik dan lagu tradisional yang dimaksud Sarbai, begitu Syarbaini biasa disapa, adalah musik Panting. Dimana pada musik Panting, lebih mengandalkan suara musik dan lagu, bukan gerak seperti Wayang Gung atau Japin, misalnya.
Wayang Gung, adalah sebutan untuk seni Wayang Orang. Namun meskipun sama-sama dilakonkan oleh manusia, Wayang Gung berbeda dengan Wayang Orang. Perbedaan itu terletak pada pakem yang dibawakan. Bila Wayang Orang yang dimainkan adalah pakem Mahabratha dengan Pandawa Limanya, maka Wayang Gung biasa dibawakan dengan pakem Ramayana. Alur ceritanya, mengambil setting permusuhan antara kerajaan Pancawati pimpinan Prabu Rama dengan kerajaan Alengka yang dipimpin oleh Rahwana, Sang Raja Angkara Murka.
Begitu juga dengan Wayang Kulit, ternyata versi Banjar tidak sama dengan Wayang Kulit versi Jawa atau Bali. Meskipun pakem yang dibawakan cenderung sama, tetapi pada Wayang Kulit Banjar memiliki keistemewaan tersendiri. Penokohan dan alur cerita lebih fleksibel dan kreatif. Sang empunya hajat yang menggelar pertunjukan wayang, bisa memesan dan membuat sendiri alur cerita. Dengan catatan, tidak keluar dari pakem yang ada. Cerita dengan alur seperti itu disebut Carangan.
Begitu pula dengan penokohan. Pada Wayang Kulit Banjar dikenal tokoh Kaki atau Rikmabrangka. Tokoh itu dimunculkan dan diambil dari tokoh atau tacut (jagoan-red) daerah tempat pertunjukan wayang digelar. Penggambaran karakter Rikmabrangka bisa berupa tacut yang jagoan, pemabuk, pembuat onar, penjudi, dan segudang sifat jahat lainnya. Namun adakalanya, Rikmabrangka diambil dari karakter seorang tokoh ulama, guru atau tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh, arif dan bijaksana.
“Dengan begitu, warga yang menonton akan senang. Karena ditengah pertunjukan muncul seorang tokoh dari desa mereka. Terlebih sang tokoh, sangat bangga ditampilkan dalam bentuk wayang,” ujar Lufi, anak sulung Sarbai yang kini mewarisi bakat ayahnya.
Seni Kuda Gipang, kurang lebih dengan kesenian Jaranan di Jawa. Namun pada Kuda Gipang, alur cerita lebih fleksibel dan sering ada penokohan yang meramaikan dengan tingkah dan dialognya yang lucu. Kuda Gipang didukung sejumlah peralatan selain kostum, seperti Gamelan, Kida-Kida, Sabuk, Jamang, Cabang, Katupung, Babun, Panting Pambawa, Panting Panggiring, Panggulung, Biola, Tarbang Paningkah, Kaprak, Gong dan Suling.
Kesenian Japin, menurut Sarbai terbagi dua. Yaitu Japin Pesisir dan Japin Pedalaman. Japin Pesisir, lebih dikenal dengan sebutan Musik Gambus yang diiringi tarian. Lagu-lagu yang dibawakan, bernafaskan Islam. Sedang Japin Pedalaman, diakui Sarbai sebagai Japin yang dikenal masyarakat Banjar sekarang. Pada Japin Pedalaman, lagu-lagu yang didendangkan berupa tembang Melayu Banjar.
Tahun 1976, Sarbai dengan Sanggar Ading Bastarinya mencoba memainkan musik Japin tanpa diiringi tarian. Sebagai pelengkap, dinyanyikanlah tembang-tambang Melayu Banjar. Setelah dimainkan dan didengarkan, ternyata sangat menawan. Karena itulah, setahun kemudian pada sebuah resepsi perkawinan di Barikin, Sarbai kembali memainkannya.
Saat itu, hadir beberapa tokoh seniman Kalsel. Antara lain Yustan Azidin, Marsudi BA, H Anang Ardiansyah dan H Bahtiar Sanderta. Semua yang mendengar terkejut sekaligus terpesona. Alunan musik penggiring Japin dipadukan dengan lagu Melayu Banjar, ternyata nyaman ditelinga.
“Karena melodinya dimainkan dengan alat musik Panting, maka menurut Yustan Abidin kala itu, sebaiknya dinamakan Musik Panting,” Sarbai mengenang peristiwa itu.
Ditahun itu pula, musik Panting mulai diperdengarkan ke khalayak. Sebagai penggiringnya, dinyanyikan lagu-lagu Melayu Banjar Pahuluan yang berirama slow. Baru setahun kemudian, Sarbai menciptakan lagu khusus untuk musik Panting. Lagu-lagu itu memiliki ciri khas berupa pantun dan berisi nasehat.
Diawal perkembangannya, musik Panting dimainkan hanya dengan tiga alat musik. Yaitu Panting sebagai melodi, Babun (Gendang) dan Gong. Baru tahun 1979, peralatan itu diperkaya dengan Talinting, Giring-Giring, Kulimpai (ketiganya merupakan alat musik tradisional Dayak Meratus), Suling dan Biola.
Kesenian ini mengalami perkembangan pesat. Tahun 1980, ketika panggung dangdut mulai memasuki hajatan yang digelar, musik Panting beradaptasi dan dilengkapi dengan penggunaan sound system. “Tahun 1981, hampir tiap kabupaten di Kalsel memiliki kesenian Panting. Sejak itu hingga tahun 1985, Panting berada di masa kejayaannya,” mata Sarbai menerawang.
Berkat dukungan Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel, tahun 1985 Panting mulai diajarkan dibeberapa sekolah. Namun sayangnya, kini Panting dan seni tradisional lainnya kurang diminati. Di Barikin sendiri, hanya bisa maju dengan tersendat. Generasi muda Barikin lebih tertantang untuk menaklukkan Play Stations dibandingkan seni tradisional. Seiring dengan itu, lekuk dan goyangan penyanyi dangdut Elekton, lebih disukai sebagai penyemarak hajatan.
“Dalam sebulan paling banyak dua kali tampil. Tidak seperti dulu yang dalam satu bulan terkadang penuh,” ujar Lufi, miris.
Kondisi itu diperparah dengan ketidakpedulian Pemerintah Daerah Kabupaten HST. Diakui Sarbai, hampir tak pernah ada kepedulian dalam bentuk apapun untuk para seniman Barikin. Tidak bantuan kostum panggung, alat musik, uang pembinaan ataupun sekedar sebuah gedung sebagai tempat berlatih. “Tempat latihan kami dirumah masing-masing dan terkadang di Balai Desa,” berkata Sarbai lirih.
Kepala Disporabudpar HST, Zain Jailani mengakui bila seni tradisional saat ini sulit untuk berkembang. “Kami juga menerima masukan dari para budayawan. Dari mereka, muncul keprihatinan dengan nasib seni tradisional kita yang terancam punah,” ujarnya.
Menurutnya, kepunahan itu bisa saja terjadi karena tidak adanya pewaris yang melanjutkan kesenian tradisional. Beberapa penyebab sulitnya seni tradisional berkembang, salah satunya adalah kurangnya minat generasi muda terhadap seni tradisional itu. Selain itu, Disporabudpar terkendala masalah kurangnya pendanaan yang dapat dialokasikan untuk mengayomi para seniman.
Dan, kloplah sudah. Kurangnya minat generasi muda ditambah ketiadaan pendanaan dari pemerintah daerah setempat, semakin menghunjamkan Barikin sebagai kampung seni kejurang paling dalam. Yang terdengar kini di Barikin, lebih banyak deru mesin kendaraan dan mesin pengolahan karet yang berlomba mencetak rupiah. Tak lagi seperti dulu, ketika malam menjelang di Barikin yang diselimuti alunan music tradisional. Ah, kampung seni itu kini mulai sepi…
sumber:
http://myrasta.wordpress.com/2009/10/13/barikin-yang-tak-lagi-bergema/